Sabtu, 12 Desember 2015

Materi Pajak BUMI & BANGUNAN



PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)

A.    Dasar Hukum
1.      UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  1. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
  3. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
  4. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
  5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
  1. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan Real Estate.
Istilah Penting dalam UU PBB
( Pasal 1 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994)
  1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
  2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;
  3. Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
  4. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
  5. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak;
B.     Obyek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
1.      Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan Bangunan
Pengertian Bumi
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Yang termasuk pengertian bangunan adalah :
a.       Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
    1. jalan TOL;
    2. kolam renang;
    3. pagar mewah;
    4. tempat olah raga;
    5. galangan kapal, dermaga;
    6. taman mewah;
    7. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
    8. fasilitas lain yang memberikan manfaat
Klasifikasi Bumi dan Bangunan
( Penjelasan Pasal 2 ayat (1)  UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang.
C.    Subyek PBB
( Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :
1.      mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;
2.      memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
3.      memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;
4.      memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak  menjadi Wajib Pajak menurut UU PBB.
D.    Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).
E.     Dasar Pengenaan PBB
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK-523/KMK.04/1998)
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya. Meskipun pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali, namun untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment.
Nilai jual sebagai Dasar Pengenaan PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan kelompok B (KMK-523/KMK.04/1998).
Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual Objek Pajak, Nilai Jual Objek Pajak yang terjadi  di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
F.     Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002).
Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) atau NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen).
Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.



Contoh :
Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 persentase Nilai Jual Objek Pajak misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp200.000,00

Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994).
Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)              
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP)                                 

Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)                                                  
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)
Besarnya PBB terutang = 0,5 % X NJKP
Referensi:
Mardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi 2011. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Ata

   XXXXX     
 XXXXX (-)
XXXXX     
     
 XXXXX     


XXXXX     
 

MATERI PPH PASAL 26



PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

A.     Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri.
PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26 ayat (1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (4) sudah saya buat di tautan berikut ini :
·         PPh Pasal 26 Premi Asuransi (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Harta (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham Antara (berdasarkan Pasal 26 ayat (2a)), dan
·         PPh Pasal 26 Penghasilan Kena Pajak BUT (berdasarkan Pasal 26 ayat (4))
Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama selain yang sudah saya tuliskan dalam tautan di atas.
B.     Pemotong PPh Pasal 26
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1)  adalah :
1.      Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
2.      Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3.      Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
4.      Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
5.      Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

C.     Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 26
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesmentpelaporan SPT Tahunan.

D.    Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26
Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :
1.      dividen;
  1. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  2. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
  3. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  4. hadiah dan penghargaan;
  5. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  6. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  7. keuntungan karena pembebasan utang
E.     Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif PPh Pasal 26 (bersifat final) adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta.
Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.
Contoh Penghitungan PPh Pasal 26
1)      Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor, PT Cunha, mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi selama tahun 1995 sebesar Rp 1 Miliar.
Perkiraan penghasilan =  50% x Rp1 Miliar     =    Rp500.000.000,-
PPh Pasal 26 =   20% x Rp500.000.000,-     =    Rp100.000.000,- (10% x Rp1 Miliar)
* Jika PT Cunha mengasuransikan kepada perusahaan asuransi di dalam negeri, PT Handoko, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp1 Miliar, dan kemudian PT Handoko mereasuransikan sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp500 juta.
Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500 juta = Rp50.000.000,-
PPh Pasal 26 yang wajib dipotong oleh PT Handoko adalah = 20% x Rp50 juta = Rp10.000.000,- (2% x Rp500.000.000,-)
  1. Lionel Messi (Warga Negara Argentina) memiliki 25% saham PT Arema Cronus Indonesia. Pada bulan April 2015, Messi menjual seluruh sahamnya senilai Rp5.000.000.000,- kepada Cristiano Ronaldo (Warga Negara Portugal). Jika tidak ada P3B antara Indonesia dengan Argentina dan Portugal yang mengatur hal tersebut, maka besarnya PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% X 25% X Rp5.000.000.000,- yaitu sebesar Rp250.000.000,- dan bersifat final.
Penghasilan atas penjualan saham tersebut dikenakan pajak oleh DJP sebesar 20% dari perkiraan Penghasilan Neto, sedangkan besarnya Penghasilan Neto adalah 25% dari Harga Jual. Terhadap penjual yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri yang merupakan penduduk dari negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila hak pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.
  1. Coca cola Indonesia membayarkan Royalti kepada PT. Coca cola yang ada di USA atas licency yang diberikan sebesar Rp 1.000.000.000. Berapa PPh dipotong atas royalty tersebut?
PPh Pasal 26 yang dipotong : 20% x 1.000.000.000= Rp 200.000.000
 Referensi

Mardiasmo, MBA., Ak, Prof. Dr.2011.Perpajakan Edisi Revisi 2011.Yogyakarta:CV Andi Offset.
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, 2005, Jakarta :  Yayasan Obor Indonesia